Pekan ke-12 Premier
League ditandai dengan Leicester City yang menjadi sorotan ketika ia
mengalahkan Watford di King Power Stadium dengan skor 2-1. Alasannya, karena
sejak pekan pertama English Premier League (EPL) musim ini, mereka konsisten
berada di papan atas klasemen. Di pekan ke-12 tersebut, mereka bahkan berada di
peringkat 3 klasemen, hanya ada Manchester City dan Arsenal yang menghalangi
mereka untuk menatap langit dengan jelas dari atas klasemen. Leicester City muncul dengan status
sebagai tim underdog yang mampu bersaing dengan tim yang telah mapan
dalam keuangan dan kualitas. Tentu saja, mereka menjadi pembicaraan banyak
orang. Dan seperti halnya para underdog yang lain, segala pembicaraan
tentang mereka adalah soal keraguan. Dan dari keraguan tersebut menganggap,
bahwa Leicester City hanya akan menjadi kejutan awal musim. Yang nasibnya diprediksi hanya akan seumur jagung. Karena saya tidak tahu pasti sampai berapa umur
jagung, mungkin pengandaian yang lebih mudah dimengerti adalah seumur karir Briptu
Norman Kamaru di dunia hiburan. Ya kira-kira hanya sepanjang lagu Chaiya-Chaiya
yang cuma itu sering ia bawakan di banyak tempat. Keraguan itu datang
dengan vonis yang cukup keji, bahwa performa Leicester City akan melempem mulai
pekan depan, dan seperti takdir yang telah menjadi suratan, mereka akan
berjuang hingga akhir musim untuk dapat menghindari degradasi. Namun tampaknya
Leicester City telah menyiapkan jawaban atas keraguan tersebut, mereka
menjawabnya mengalahkan Newcastle United 3 gol tanpa balas pada pekan
berikutnya, dan pada pekan ke-13 English Premier League, Leicester City
memuncaki klasemen. Hingga rasanya, Presiden Joko Widodo tampak perlu menggelar
rapat terbatas untuk membahas kegaduhan yang mereka perbuat.
Menjadi pemuncak
klasemen tidak lantas menghilangkan keraguan atas performa Leicester City.
Vonisnya tetap sama keji, mereka akan melempem mulai pekan berikutnya hingga
berjuang untuk dapat lolos dari zona degradasi. Tapi nampaknya keraguan
tersebut bisa dimaklumi karena pada pekan ke-13 di musim lalu, Leicester City
hanya berada di posisi buncit klasemen. Maka ketika musim berikutnya mereka
menancapkan bendera mereka di puncak klasemen EPL, banyak yang berharap bahwa
ini hanya mimpi, atau lelucon April Mop, sambil berdoa sepenuh hati agar
mereka akan kembali ke takdir mereka sebagai tim semenjana.
Memang musim ini
pencapaian Leicester City adalah sebuah penyimpangan. Karena jika dilihat dari
materi pemain Leicester City, mereka tidak istimewa. Pemain termahalnya, Leonardo
Ulloa dan Shinji Okazaki hanya bernilai 10 dan 7 juta poundsterling, itupun
kontribusinya di tim hanya sebagai pelapis Jamie Vardy dan Riyad Mahrez, yang
performanya ajaib musim ini. Jamie Vardy dan Riyad Mahrez sendiri secara total
hanya bernilai kurang dari 1.5 juta poundsterling, bahkan Riyad Mahrez hanya
bernilai 400 ribu poundsterling saat diboyong dari Le Havre, klub Ligue 2
Prancis. Melihat kontribusinya bersama Leicester City musim ini di EPL, 400
ribu poundsterling merupakan harga yang sangat murah, yang membuat saya jadi
curiga tim negosiasi Leicester City direkrut dari ibu-ibu yang biasa menawar di
Pasar Induk. Karena bayangkan saja Manchester City yang mengeluarkan 50 juta
poundsterling untuk Raheem Sterling seorang. Jikalau boleh mengulang waktu,
andai saja di awal musim lalu Sheikh Mansour bin Zeyed Al Nahyan, pemilik
Manchester City, melaksanakan sholat istiqoroh sebelum membeli Raheem
Sterling dan Allah memberi petunjuk untuk Manchester City, bagaimana caranya
menggunakan 50 juta poundstreling dengan baik dan bijak, mungkin keputusan yang
mereka ambil saat itu adalah membeli seluruh punggawa Leicester City lengkap
dengan pelapisnya yang hanya bernilai kurang dari dari 30 juta poundsterling.
Masih lebih 20 juta poundsterling yang dapat digunakan untuk memberangkatkan
haji kedua orang tua dari para pemain. Sehingga, mereka dapat menggunakan uang tersebut sebaik-baiknya untuk kepentingan duniawi dan juga akhirat, dan tetap memuncaki klasemen dengan
rahmat dan karunia Allah. Tapi Sheikh Mansour kelewat salah mengambil keputusan, 50 juta poundsterling untuk Raheem Sterling seorang
diri adalah kemudharatan, kemubaziran dan lagi sebuah praktik mark up besar-besaran yang luar biasa ceroboh
yang pernah dilakukan umat manusia. Saya masih heran belum ada satupun petisi
di change.org yang dibuat untuk mendorong Parlemen Inggris membentuk pansus
untuk menyelidiki praktik mark up tersebut.